Yahya, Tentang Bagaimana Ia Memaknai Hidup

Laporan : Naspadina dari Yogyakarta

Ketika ia bersandar pada bangku pesawat Sriwijaya Air yang membawanya pergi jauh dari kampung halamannya di Wonomulyo, seluruh peristiwa yang telah dialaminya belasan tahun sebelumnya telah berputar kembali di pelupuk mata. Hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak berkesudahan.

Namanya Yahya, petang itu saya menemuinya di suatu warung kopi. Dia duduk di sebelah  saya, kemudian mengeluarkan rokok dan mengisapnya cepat-cepat. Raut wajahnya tak mengisyaratkan apa-apa, hanya pandangan kosong pada asap yang mengepul ke atas—terbawa udara.

Ini adalah kali kesekian saya bertemu dengannya, pemuda berbadan tegap, tinggi, dan berambut pendek itu merupakan salah satu mahasiswa asal Sulawesi Barat yang telah beberapa tahun ini merantau di Jogja.

Belum ada percakapan apa-apa. Di meja, hanya ada tembakau dan dua gelas bekas kopi pelanggan sebelumnya. Ia menghisap rokoknya dengan begitu khidmat, lalu bercerita tentang masa lalu nya. Tentang mengapa ia bisa sampai di tempat ini.

14 juli 2013, ia memberanikan ke Jogja—seorang diri. Ia ingat betul bagaimana pengalaman itu menyumbang banyak kenangan dalam hidupnya. Ini kali pertamanya naik pesawat. Celana pendek di atas lutut, kaos oblong, sebuah ransel di punggungnya, dan kresek warna merah berisi 3 pasang sepatu; sepatu kuliah, sepatu futsal, serta sepatu bola yang di tentengnya, menjadi teman perjalanannya ke Kota Istimewah Yogyakarta.

Tak seperti kawan-kawannya, yang sempat menjabat tangan orang tuanya saat berpamitan ke tanah rantau, bahkan pula ada yang diantar hingga ke bandara hanya untuk memastikan anaknya berangkat dengan baik-baik saja. Ia justru tak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya. Berpamitan lewat telephone adalah jalan satu-satunya. Karena pada saat itu, kedua orang tuanya sedang merantau ke Palu-Sulawesi Tengah.

Ketika ia bersandar pada bangku pesawat Sriwijaya Air yang membawanya pergi jauh dari kampung halamannya di Wonomulyo, seluruh peristiwa yang telah dialaminya belasan tahun sebelumnya, bagai berputar kembali di pelupuk mata. Wajah orang-orang dicintainya tergambar satu persatu dengan begitu sempurnanya, beriringan dengan rasa tak percaya mengapa ia bisa sampai di titik ini—merantau jauh meninggalkan ruang yang membesarkannya sedari kecil. Bahkan hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak berkesudahan.(Lanjut Halaman 2)