Oleh: Hajrul Malik, Aktivis “98
Indonesia terkenal paling demokratis di dunia saat ini, betapa tidak, mulai Pilpres sampai pemilihan kepala desa menjadi area terbuka untuk diikuti oleh siapapun tanpa memandang latar belakang etnis, agama bahkan status sosial selama memenuhi syarat-syarat formal yang ditetapkan undang-undang.
Hasilnya, melahirkan para pemimpin dari latarbelakang beragam dan tentu dengan corak model kepemimpinan yang juga berbeda beda. Mereka lahir dari kalangan elit sampai rakyat biasa, pemimpin laki-laki maupun perempuan, sudah menjadi hal lumrah karena memang kita setuju kepemimpinan itu dapat memilih siapa saja tanpa batas gender dan apapun sebagai tembok pemisahnya asalkan memiliki kapasitas leadership yang kuat.
Secara demokratis mereka diberi kesempatan memimpin negeri ini ataupun daerah maksimal 2 periode atau selama 10 tahun. Waktu 10 tahun itu cukup untuk menguji pembuktian keberpihakan pemimpin pada rakyatnya, bukan seperti era orde baru berkuasa sampai 32 tahun atau hampir 7 periode.
Batasan kepemimpinan ini dipuji oleh seluruh kalangan termasuk dunia, bahwa Indonesia benar benar telah menjadi sangat demokratis di dunia. ini merupakan bagian berkah reformasi dengan merubah konstitusi menjadi hanya dapat memimpin 2 periode.
Tiba-tiba keelokan ini ingin dirubah oleh hirup pikuk dengan membuka wacana tunda pemilu atau -presiden dapat dicalonkan tiga periode. Ini didesain sejumlah kalangan yang takut berkompetisi 2024 atau tidak ingin kehilangan kekuasaan.
Hanya orang tidak waras yang membuka wacana perubahan konstitusi pada sesuatu tidak berfaedah. Saya setuju ungkapan seorang pakar menyebutkan bahwa ini semacam “Terorisme Konstitusi”
Mungkin ada fakta pada negara lain seperti Putin dan Erdogan, melakukan perubahan pada konstitusi mereka untuk melegalkan kecintaan rakyatnya pada pemimpin yang mereka sukai, tapi pada pemimpin berkonstribusi pada kemelaratan rakyatnya, sama sekali tidak ada dalil bisa menjembatani ke arah sana. Entah itu dalil hukum berdemokrasi, apalagi dalil aqli atau “nalar sehat”.
Melihat aksi mahasiswa yang mulai turun ke jalan beberapa hari ini, pertanda buruk bahwa kepemimpinan nasional harus merespon secara baik agar tidak berjatuhan korban seperti 98 silam.
Naluri kemahasiswaan saya terusik, seolah ini tahun 98, beberapa negara sudah mulai terkapar karena krisis keuangan dan ancaman krisis pangan. Perang Rusia vs Ukraina hanyalah pemicu, tapi substansi kondisi negeriku memang sudah demikian adanya, akibat banyak salah urus pada negara dan maupun daerah yang diberi mandat rakyat, hasil pemilu 2019 lalu.
Saya ingin merespon bahwa hanya orang-orang cacat secara nurani dan rusak indera kemanusiaannya, mau merubah konstitusi untuk sesuatu yang sama sekali tidak faedah bagi rakyat dan kemanusiaan hari ini.
Hanya saja semua perlawanan ini, harus dilawan dengan cara konstitusional juga.. pemilu 2024 harus tetap digelar, agar ada kesempatan bagi rakyat menghakimi pelaksana kepemimpinan baik nasional maupun daerah yg “tidak becus urus negara dan rakyat”
Seketika memori 98 saya terusik, melihat beberapa video pendek bertebaran di berandaku. Mungkin karena tv saya sedang rusak, sehingga saya belum melihat liputan ini di TV.
Hidup mahasiswa aaaaaaa