Mudik dan Blokade Israel yang Mencekik

Mudik dan Blokade Israel  yang Mencekik -
Ilustrasi/fhoto: muslimdaily.net

Laporan: Ihsan Zainuddin dari Mesir

DI awal Syawal 1438 Hijriyah ini, perkenankan saya untuk mengucapkan selamat Hari Raya untuk seluruh kaum muslimin, terkhusus pembaca setia mandarnesia.com. Saya yakin ke depan, media online ini akan terus eksis dan dinamis, mewarnai media informasi digital di Sulawesi Barat.

Dua minggu lalu, saya mengantar paket atau persisnya titipan barang untuk seorang WNI bernama Abdilah Onim di Jalur Gaza Palestina. Saya diberitahu, bahwa paket itu berisi baju lebaran untuk anak-anaknya. Paket ini lalu saya titipkan kepada kawan saya asal Palestina, Mohamed El-Hirtany (32) yang saat ini sedang melanjutkan sekolah pasca sarjana jurusan komunikasi di salah satu kampus ternama di Mesir. El-Hirtany berencana mudik kali ini.

“Persisnya kapan Anda akan ke Gaza?”tanyaku pada El-Hirtany.
“Semoga pintu perlintasan Rafah terbuka di akhir Ramadan ini,” jawabnya dalam aksen bahasa Arab Palestina.

Untuk diketahui pintu perlintasan Rafah adalah satu-satunya akses menuju jalur Gaza dari Mesir yang tidak di bawah kendali Israel. Jalur Gaza telah diblokade Israel lebih dari satu dekade, akses ke dan dari Gaza, khususnya perbatasan darat, seluruhnya dikuasai penuh oleh Israel.

Kita sudah terbiasa mendengar bahwa jalur Gaza diibaratkan penjara terbesar di dunia. Akses keluar ditutup rapat-rapat. Tidak ada bandar udara setelah hancur dibombardir Israel pascaperang beruntun dalam satu dekade ini.

Tidak ada aktivitas pelabuhan Gaza, bahkan laut Gaza dikuasai oleh Angkatan Laut Israel. Nelayan Gaza tidak diperkenankan melaut melebih 10 mil dari bibir pantai. Jika itu dilanggar, maka mereka akan diberondong peluru aparat.

Setelah kongkow di café Faisal Mesir, saya akhirnya menitipkan paket itu, sekaligus berdoa semoga paket itu bisa tiba di Gaza Palestina sebelum hari raya.

Entah apa sebabnya, hingga hari lebaran tiba, pintu perlintasan Rafah belum juga dibuka, padahal sudah lebih dari tiga bulan lamanya, ribuan orang yang mengantre ingin masuk maupun keluar dari jalur Gaza, terpaksa hanya bisa pasrah.

Ribuan orang itu terdiri dari para pelajar dan mahasiswa Palestina yang melanjutkan studi di luar Gaza. Ada ratusan kondisi pasien yang ingin berobat, mulai dari sekedar chek up kesehatan, hingga operasi karena keterbatasan sarana dan prasarana di jalur Gaza.

“Akhi, gimana sudah di Gaza, kan?” tanyaku hari ini (Hari kedua Syawal) via sms.

“Ihsan, pintu Rafah belum juga dibuka,” jawab El-Hirtany padaku.
Saya menutup percakapan dengan kalimat, “Hasbiyallahu Wanikmahwakil” (Hanya kepada Allah kita berserah diri).

Kalimat ini sudah lazim diucapkan dalam bahasa Arab jika kita mengalami, atau mendengar berita buruk yang jauh dari harapan, termasuk jika kita dizalimi orang lain.

Tentu Anda bertanya, mengapa Mesir tidak membuka secara permanen perbatasan Rafah agar penduduk Jalur Gaza bisa lebih leluasa menghirup udara kebebasan layaknya penghuni bumi lain.
Untuk menjawab pertanyaan itu, diperlukan diskusi panjang, dan catatan ini bukan untuk membahas secara tuntas masalah ini. Apalagi tidak gampang menuduh Mesir begitu saja sebagai kaki tangan Israel. Demikian pula sebaliknya, kita bisa memahami opini publik yang menyatakan, bahwa Mesir yang kini kembali dipimpin militer, tidak lepas dari pengaruh politik Israel.

Terlepas dari perdebatan tentang kebijakan luar negeri dan politik Mesir dalam mengelola pintu perlintasan Rafah itu, yang pasti kita sepakat, bahwa ada rintihan saudara-saudara kita sesama muslim. Mereka benar-benar benar-benar berharap akhir dari episode blokade Israel yang mencekik ini. (*)