Reportase Haji 2024 M |1445 H
Oleh : Usman Suhuriah
(TPHD Sulbar melaporkan dari Makkah)Peristiwanya sehari setelah kami tiba di tanah haramain Makkatul mukarramah. Tepatnya saat pelaksanaan wajib umrah (29/Mei/2024 |22 Dzulkaidah 1445 H).
Di tengah-tengah jamaah, usai melakukan tawaf, sai, tahallul, dan saat ribuan jamaah lain masih terus melakukan tawaf. Dari situ kami mendengarkan teriakan-teriakan lantang. Tetap terdengar, tetapi terlihat jelas.
Tidak dimengerti teriakannya. Bahasanya tidak mengerti. Meski dihalau pengamanan (para Askar) di sekitar Ka’bah, Tetapi tetap saja ingin melepaskan diri. Ingin meringsek di kerumunan orang banyak. Tarik-menarik antara dia dengan regu pengamanan.
Saya bersama sahabat Muhammad Ali Wardi hanya melihatnya dari jarak terkontrol, tak terlalu jauh. Terlalu jauh untuk ukuran sepelemparan batu.
Apa gerangan? Tentu saja kami tidak paham, kecuali bertanya di dalam hati (maaf!) Apakah seseorang ini mengalami semacam delusi saja. Takut untuk mengatakan dia tidak waras apalagi disebut ‘majnun’.
Tapi mengapa tampilannnya tidak mewakili tampilan bukan orang waras. Tampangnya bersih, pakaiannnya sangat bersih, gagah, klemis, badannya tinggi sepadan, sebagaimana postur orang-orang Maghreb atau Arab Barat.
Lalu kalau tidak waras, bagaimana orang ini dari negaranya bisa dilepas. bukankah ada scanning kesehatan haji, semacam istitaah kesehatan jemaah yang diberlakukan ketat kerajaan saudi untuk seluruh jemaah dari berbagai belahan dunia.
Atau, kalau ia berasal dari Kota Makkah, atau dari kota lain di Saudi, bagaimana keluarganya membiarkan masuk melakukan tawaf.
Bahwa memang akan banyak peristiwa tidak biasa saat kita berkumpul dengan orang-orang yang berbeda dari sisi kultur? Tapi bagaimana pun antara orang waras untuk satu kultur tertentu kurang lebih sama pengertiannya dan persepsinya dengan kita. Itu sama saja. Bahwa orang yang tidak waras (majnun /gila š ya keadaannya seperti orang tak waras.
Orang tak waras alih-alih akan berpakaian bersih mengurus diri saja mana terpikir. Tapi tetap saja kami penasaran. Orang misterikah atau ia mengalami delusi?
Seseorang yang mengalami delusi adalah orang yang terkondisi oleh antara imajinasi dan kenyataan. Ia tak bisa membedakan mana imajinasi mana kenyataan. Lalu apakah ini ia sedang kena delusi atau ia misteri.
Tidak ada keputusan untuk menilai bahwa ia demikian. Ini Mekkah ini Tanah Haram! Sangat mungkin bukan itu, mungkin juga ia. Mungkin ia, bisa jadi sesaat ia melihat Baitullah, lantas berkelebat keberadaan atau imajinasi Saiyyidina Ibrahim, Ismail, Siti Hajar. Tetapi ah, ini sulit. Ini Tanah Haram segala mungkin terjadi.
Sufi hebat, Sutan Mansyur Al-Hallaj adalah teka-teki yang sulit diterka. Ia menghadapi hukuman dan berakhir di tiang gantungan, hanya karena ke mana-mana mendeklamasikan diri dia dengan pernyataan ana al-haq (akulah kebenaran). Akan tetapi dunia sufi menganggap ia tidak bersalah apalagi dipersalahkan. Hukum terhadapnya tak akan menjangkau hakekatnya, karena ia adalah hakekat itu sendiri. Meski banyak sekali yang menganggapnya Sufi misterius ini majnun.
Apa kaitan Al-Hallaj yang hidup tahun 992 M berabad lalu dengan peristiwa “amukan” ini. Cukup menduga saja bahwa bisa jadi basis kejadiannya sama atau tidak lebih jauh berbeda.
Sisi syariatnya berbuat ‘salah’ dikeramaian orang ‘ngamuk’. Tetapi keberadaan dia syariatnya tidak akan menjangkau. Ini tanah haram segala kemungkinan bisa terjadi.
Bahwa kita lebih mungkin menyebutnya tengah mengalami peristiwa kejiwaan dan korahian hebat. Atau lebih meningkat lagi, mungkinkah tengah tajalli’. Mengalami kejiwaan yang membuatnya ia tak tahan untuk tidak terbuka (frontal).
Jika ia ‘Tajalli’ yang dalam bahasa Prof. Hamka, enggelam ke penghayatan rasa ke- Allahan, āKelihatan Allah di dalam hatiā (1992). Maka mungkinkah Ia memang tengah tajalli.
Muhammad Ali Wardi, saat perjalanan balik dari Masjid Haram, cuma menjawab singkat; “ia mungkin saja!” WallahuĀ a’lam.Ā (*)