Saat itu, di hutan, seorang wanita tua bernama Ratte sedang mencari kayu bakar dibunuh oleh pasukan DI/TII tersebut. Nenek Toma yang juga sedang berada di hutan dapat menyelamatkan diri dengan cara bersembunyi dalam to’paken (semak paku-pakuan). Untunglah pasukan gerombolan DI/TII menuju kampung Salubalo dengan cara berteriak-teriak sehingga kedatangannya dapat diketahui. Segera penduduk Salubalo membunyikan patiti’ (kentongan bambu yang dipukul bertalu-talu dengan cepat) untuk memberi kode kepada semua penduduk bahwa ada serangan gerombolan. Sebagian laki-laki berlari dalam kampung sambil berteriak-teriak menyuruh semua penduduk agar segera meninggalkan kampung secepatnya melarikan diri ke arah Sumarorong. Waktu itu belum ada tete (titian) sehingga penduduk melarikan diri dengan menyeberangi sungai Mamasa secara tergesa-gesa dan panik.
Beberapa penduduk laki-laki bersiap mengadakan perlawanan dengan senjata seadanya. Diantara penduduk itu ada Ambe’ Tata (Karran) bersenjatakan sumpit dan parang, ada pula Nenek Kondo, Toding dan Ambe’ Laen dengan bersenjatakan parang dan tombak. Mereka menghadang di tepi jalan yang akan dilalui gerombolan DI/TII. Ambe’ Tata membidikkan sumpitnya tetapi ada anggota pasukan gerombolan melihat ujung sumpit tersebut dan mengira laras senjata api. Tempat sembunyi Ambe’ Tata ditembaki, sebutir peluru menyambar sarung-parangnya, menyebabkan pasukan penghadang ini panik dan berhamburan mundur ke arah kampung tak mampu melawan gerombolan yang bersenjata lengkap bahkan pasukan ini dilengkapi senapan mesin Bren.
Setelah gerombolan DI/TII mencapai kampung Salubalo, mereka mulai membakar rumah-rumah penduduk. Di Ratte Appalla’ di seberang sungai Mamasa, Pua’ Karang, Nenek Keppo’ dan Baco’ Makka menunggu dan bertahan di tepi sungai Mamasa. Di kampung Palappang Pua’ Sondong, Ambe’ Sa’pi’, Ambe’ Sondong, Ambe’ Pakuli, dan Ambe’ Buttu bertahan mati-matian dengan gagah berani sehingga pasukan DI/TII tidak berani melanjutkan penyerangan ke Palappang. Palappang terhindar dari pembakaran.
DI/TII yang menyerang Salubalo tidak lagi menyeberang sungai Mamasa, tetapi beberapa waktu kemudian pasukan kedua DI/TII muncul dari arah pasir putih di Utara Sumarorong, terus ke jalan Poros Polewali-Mamasa dan muncul dari arah Mamasa melalui jalan poros. Kemunculan gerombolan langsung masuk kota Sumarorong membuat penduduk Sumarorong panik. Penduduk melarikan diri ke arah kampung Liawan dan Sarambu. Gerombolan DI/TII yang masuk kota Sumarorong mulai membakar rumah-rumah penduduk di dusun Rante Kamase, sekolah zending juga dibakar. Sementara gereja Sumarorong yang terbuat dari bambu dan atap alang-alang diusahakan dibakar tetapi tidak terbakar. Gerombolan ini kemudian menghancurkan peralatan dalam gereja termasuk orgel pemberian pendeta van Dalen. Buku-buku dan Alkitab mereka bakar. Pada saat rumah-rumah dibakar, gerombolan penyerang membunyikan lonceng gereja terus menerus menyebabkan lubang tempat mengikat lonceng tersebut patah. Lonceng ini masih digunakan di gereja Sumarorong sampai sekarang.
Pembakaran rumah penduduk terus dilakukan sampai ke dekat Tondok Tallu (sekitar pasar sekarang). Dari sini mereka membelok ke sungai Mamasa dan kembali menyeberang sungai ke Salubalo bergabung dengan anggota pasukan lainnya. Pasukan DI/TII masih bertahan sampai menjelang malam di Salubalo. Pada saat hampir malam pasukan gerombolan ini terlihat meninggalkan kampung Salubalo sambil membawa hasil jarahan mereka berupa 9 ekor kerbau milik penduduk Salubalo.
(BERSAMBUNG)