Oleh Wahyudi Muslimin
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun
Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’ mudkhalahu waghsilhu bilmaa`i wats tsalji wal baradi wa naqqihi minal khathaayaa kamaa naqqaitats tsaubal abyadla minad danasi wa abdilhu daaran khairan min daarihi wa ahlan khairan min ahlihi wa zaujan khairan min zaujihi wa adkhilhul jannata wa a’idzhu min ‘adzaabil qabri au min ‘adzaabin naar.
Dua orang-orang pilihan di Bumi Allah telah dipanggil menghadapNya. Dari Mandar Imam Masjid Syuhada Habib Ahmad Fauzi bin Djafar Al Mahdaly seorang ulama dari Mandar dan di Yogyakarta seorang tokoh sastra, Ayahanda Iman Budhi Santosa.
Selamat menempuh perjalanan baru ta Ayahanda Iman Budhi Santosa, engkau telah bertemu Sang Pencipta. Sejak dulu engkau sudah melepaskan keduaniaanmu dengan memilih hidup sederhana di Dipowinatan, Yogyakarta.
Saya mengenal Ayahanda Iman Budhi Santosa melalui Bang Bustan Basir Maras, awal kebersamaan kami dalam penggarapan majalah pertanian Sidatani. Sebuah kebanggan dipertemukan lalu kemudian diperjalankan bersama seorang tokoh Sastra di Yogyakarta.
Beliau sering memanggil ke kosannya atau saya yang berninisiatif ke sana bila tak ada tugas kuliah yang mendesak, di Jl. Dipowinatan MG I/167 Yogyakarta. Hampir setiap malam di beranda rumahnya, mengobrol sambil berasap dengan kreteknya tentang Jawa dan Mandar, mengobrol tentang perjalanan hidupnya dari menjadi pegawai di sebuah perkebunan teh di Kendal tahun 1971-1975 dan Disbun Provinsi Dati I Jateng tahun 1975-1987 lalu kemudian memilih keluar dan menjalani kehidupan sederhananya bersama diksi dan karya sastra.
Plus mengotak atik rak bukunya, yang mana bisa dibawa pulang untuk dibaca lalu dipulangkan kembali bila usai terbaca. Ada satu novelnya yang sangat kusukai, judulnya Perempuan Panggung, berulangkali memintanya, namun beliau menolak, karena hanya tersisa satu arsipnya.
Dari kebersamaan di majalah Sidatani tersebut, beliau kemudian mengenalkan saya ke Ibu Arnabun, owner penerbit Gama Media, dan mengajak saya untuk bekerja di sana. Setiap hari kerja, beliau yang menjemput di Asrama Todilaling. Biasanya beliau yang membangunkan di pagi hari dengan mengetuk lembut kamar di Asrama Todilaling, Yogyakarta, sambil memanggil nama saya.
Lalu bersamanya, berboncengan dengan motor butut Yamaha 100, berangkat ke Gama Media. Sambil menunggu saya selesai mandi, kubuatkan kopi hitam dari Mandar untuk menemaninya menunggu.
Perkenalan saya dengan dunia penerbitan dan pekerjaan buku secara serius dan sistematik melalui beliau. Waktu itu bekerja di Gama Media mendapat gaji perminggu yang sangat lumayan cukup bagi kelas mahasiswa di Kota Gudeg, Yogyakarta.
Salah satu makanan favoritnya adalah Soto Lamongan, beliau juga yang memperkenalkan dengan kuliner Jawa Timur tersebut. Di dekat Gama Media, terdapat warung menyajikan kuliner soto di atas, begitu masuk waktu makan, tak pelak pasti mengajak saya untuk makan di warung tersebut. Warung itu selalu ramai pengunjung.
Banyak wejangan dan petuah-petuah Jawa yang disampaikan, salah satu yang sangat membekas adalah “ngono sing ngono, tapi ojo ngono, Yud” atau “Ngono ya ngono, ning ojo ngono”.
Dia banyak bercerita tentang budaya Jawa lalu kemudian mempertautkannya dengan Mandar, entah mengapa dia begitu jatuh cinta ke Mandar, mungkin karena perkenalannya dengan Bang Bustan Basir Maras yang banyak bercerita tentang Mandar atau pun didapat dari informasi lain. Sampai sebuah buku mini beliau susun berupa kumpulan petuah bijak dari berbagai provinsi di Indonesia, di dalamnya juga termaktub kata-kata bijak dari Mandar.
Ketika saya akan pulang ke Mandar untuk menyelesaikan masa lajang, dia lalu memberikan kado pernikahan. Berupa dua buah buku, satunya berjudul Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses ala Manusia Jawa dan Nasihat Hidup Orang Jawa.
Pada buku Laku Prihatin beliau menulis sebuah pesan di halaman dalam buku tersebut: “Untuk Yudi, semoga jadi referensi tentang hidup dan kebudayaan Jawa + Nusantara, 23/03/2011”.
Sepulang dari Yogyakarta, saya menyampaikan via telepon ke beliau, bahwa saya membuka penerbitan sendiri. Lalu kemudian memintanya untuk memberikan pengantar pada sebuah karya sastra dari Mandar, Novel Daeng Rioso, Prahara Bumi Balanipa karya Adi Arwan Alimin.
Terakhir mengontak beliau ketika Adi Arwan Alimin akan ke Jakarta untuk sebuah acara sastra, saya menyampaikan bahwa penulis novel Daeng Rioso ingin bertemu. Itulah terakhir mendengar suaranya.
Kadang juga ketika ingin mengobrol dengannya sesekali mengontaknya via seluler, dan selalunya beliau mendahului kita menanyakan kabar.
“Maaf romo saya belum bisa kirimkan Novel Daeng Rioso karena baru mau cetak, kemaren sy terkendala di mesin…”
“Tenang, Belanda masih jauh. Sabar sajalah. Kapan saatnya sampai, pasti sampai. Wal Ashri…demi waktu…”
Dialog beberapa tahun terakhir dengan beliau tertanggal 29/07/16 00.44 via massengger facebook berupa permohonan maaf saya ke beliau, karena belum bisa mengirimkan bukti terbit novel tersebut di atas.
Tanggal 5 Desember 2018 kembali kutanyakan kabar kesehatannya “Piye kabarnya romo? semoga sehat selalu” Dibalas sehari setelahnya, 06/12/18 10.29,
“Aman, Yud. Baik-baik saja. Kemarin tgl. 29 Nov s.d. 1 Des, saya ke Bali. Acarane teman-teman maiyah Bali. Sulawesi Barat aman, ta? Keluarga juga sehat-sehat saja? Salam buat mereka.
“Aman Romo, Alhamdulillah Romo sehat semua. jaga kesehatan ta Romo”.
Jarak dan waktu untuk bersua denganmu tidak bisa dilipat, begitu pula ketika akan mengiringi perjalanan terakhirmu.
Akhirnya, buat Ayahanda Iman Budhi Santosa, maafkan saya tidak bisa mengantarkanmu ke peristirahatan terakhir, tidak bisa membalas semua kebaikanmu kepada saya selama di Yogyakarta, Insya Allah, Tuhan Yang Maha Esa akan mencatatnya sebagai amal jariyah.
Segala budi baikmu akan selalu dikenang.
Gerbang Visual, 10 Desember 2020