Oleh: Muhammad Yusuf J
DI tengah kesibukan sekolah yang semakin padat, pendidikan karakter sering kali terasa seperti konsep yang abstrak. Namun bagi saya, guru SDN 66 Sibunoang, karakter justru tumbuh dari pengalaman yang nyata dari perjalanan, keringat, kebersamaan, dan tantangan alam.
Karena itu, saya kembali menghidupkan kegiatan petualangan alam bersama para siswa, sebuah tradisi yang telah saya lakukan sejak mengajar di SD 37 Puawang dan SD 35 Pumballar.
Delapan Profil Pelajar Pancasila, seperti kemandirian, kolaborasi, kreativitas, hingga ketakwaan. Bukan sekadar daftar di atas kertas. Profil itu mesti dialami, dihayati, dan dirasakan langsung. Melalui petualangan inilah saya mengajak siswa “belajar dengan kaki”, bukan hanya “belajar dengan buku”.
Kegiatan ini bukan program resmi sekolah. Ini murni inisiatif saya sebagai guru yang ingin membawa siswa keluar dari rutinitas kelas. Hanya siswa yang mendapatkan izin orang tua dan bersedia menyiapkan bekal sendiri yang bisa ikut. Kami biasanya melaksanakannya pada masa libur semester agar tidak mengganggu pelajaran.
Sebelum berangkat, kami berkumpul untuk bermusyawarah. Para siswa belajar manajemen perjalanan: apa saja yang harus dibawa, bagaimana membagi logistik, cara menghadapi kelelahan, hingga pentingnya membawa obat-obatan sederhana. Sejak tahap persiapan, mereka sudah belajar bertanggung jawab.
Tujuan kami adalah Hutan Pinus Puawang, Kecamatan Banggae Timur, sekitar satu jam berjalan kaki. Perjalanan menuju lokasi adalah bagian dari pelajaran itu sendiri. Anak-anak belajar mengatur napas, bekerja sama saling menunggu, menyemangati teman, dan mengatur energi agar tidak cepat lelah.
Sesampainya di hutan pinus, suasana berubah menjadi lebih hidup. Setiap siswa mendapatkan tugas: ada yang mengambil air, memasak, menata tenda, hingga mencari kayu bakar. Tanggung jawab dipilih sesuai kemampuan, agar setiap anak merasa terlibat dan dihargai.
Di tengah rimbunnya pinus, saya mengajak siswa mengamati alam. Angin yang bergerak pelan, suara serangga, sinar matahari yang menembus dahan. Semua itu menjadi pengingat bahwa keteraturan alam adalah tanda kebesaran Allah Swt. Kesadaran spiritual tumbuh dari hal-hal sederhana datang dari rasa takjub pada ciptaan-Nya.
Petualangan ini juga menjadi ruang bagi siswa untuk mengenali diri mereka. Anak yang biasanya pemalu, tiba-tiba mengambil peran memimpin saat memasak. Anak yang cepat marah belajar menahan emosi ketika harus menghadapi situasi tak terduga. Di alam, karakter anak-anak muncul apa adanya.
Salah satu siswa, Usril, tampak paling bersemangat. Matanya berbinar saat menceritakan pengalamannya.
Ia berkata ingin kegiatan ini dilakukan setiap bulan. Baginya, petualangan ini membuka wawasan baru. Belajar memasak dengan alat seadanya, merasakan tidur di alam terbuka, memahami pentingnya oksigen bagi kehidupan, hingga menikmati persaudaraan yang tumbuh tanpa dibuat-buat.
Saya percaya, pendidikan tidak harus selalu diukur dengan angka, tetapi dengan pengalaman yang membekas. Petualangan ini memberi anak-anak kesempatan untuk mengembangkan kemandirian, ketangguhan mental, kemampuan bekerja sama, dan kecakapan hidup. Pelajaran yang tidak mereka dapatkan di ruang kelas.
Jika negara ingin menghadirkan generasi tangguh dan unggul, maka pengalaman belajar seperti ini harus terus dirawat. Sebab dari perjalanan sederhana ini, anak-anak belajar menjadi manusia yang lebih kuat, lebih empatik, dan lebih mandiri. (*)







