Ba’da subuh ini ini saya berangkat ke pasar untuk mendampingi nyonyaku berbelanja keperluan sehari-hari. Mulai dari sayuran, bumbu masak, ikan hingga pisang-pisang. Juga ubi kayu yang masih segar dan cabe hijau serta buah salak. Dibandingkan dengan jika berbelanja kepada penjual yang lewat depan rumah yang naik sepeda atau motor, berbelanja langsung di pasar terasa lebih murah dan lebih menyenangkan karena banyak pilihan juga sedikit bisa menawar harga.
Pasar yang kami tuju adalah pasar tradisional, pasar Minasaupa, Kota Sungguminasa ibu kota Kab. Gowa. Sekitar 15 km dari rumah kami di Bakung Samata. Ini adalah kesekian kalinya atau keberkali-kalinya kami belanja kesini, terutama jika di rumah akan ada acara hajatan atau lagi kedatangan tamu dalam jumlah yang banyak. Bahkan secara sendirian pun sering datang ke pasar ini dengan tujuan yang sama.
Kali ini, kami mengajak anak lelaki tertua dan ponakan lelaki, dari tanah Mandar Sulawesi Barat. Mereka sengaja diajak agar tahu dan terbiasa dengan kehidupan masyarakat dengan segala hiruk-pikuknya. Ini juga agar mereka lebih banyak melihat dunia luar. Tidak hanya mengisi libur dengan hanya main game. Anggaplah ajakan saya kepada keduanya, sebagai rekreasi mental dan rekrasi rohani.
Pasar, khususnya pasar tradisional adalah, meminjam istilah teman saya, Prof. Hamdan, merupakan miniatur kehidupan. Berbagai jenis aktivitas kehidupan ada di dalam pasar. Tidak sekedar jual beli, aspek kehidupan lainnya juga adalah di dalam pasar. Bahkan membangun silaturahmi dan merajut kebersamaan juga terdapat di dalam pasar.
Jika ingin melihat orang yang sesungguhnya, pergilah ke pasar. Suka duka dan kerasnya kehidupan ada di dalam pasar. Di pasar ada orang yang beribadah, mengingat Tuhan dan menyukuri nikmat yang diperolehnya sembari mendoakan yang lebih banyak lagi. Ada penjual yang sedang shalat di samping dagangannya, di sela-sela meja atau lemari barang dagangan. Mengaji tadarrus Al Qur’an sambil menunggu pembeli.
Bahkan ada warung yang kosong, tetapi tetap terbuka. Di depan tertulis secara kertas: “sedang shalat”. Tidak ada yang mengganggu, tidak ada yang mengusik. Jika ada orang lain yang datang ingin membeli tak perlu berteriak memanggil penjualnya karena sudah ada tertulis secarik kertas bahwa sang penjual sedang mengingat Tuhannya.
Jangan takut ke pasar. Jika anda tidak punya uang, singgahlah di warung. Laporkan kepada pemilik warung bahwa anda tidak punya uang atau uangnya terlupa bahkan hilang. Masih cukup banyak penjual yang mau berbaik hati. Mungkin sang penjual akan mengatakan : “ambil saja pak, nanti lain kali datang ke sini membayarnya”. Padahal mungkin kita tidak saling mengenal. Itulah seni dan budaya yang di dalam pasar.
Di pasar juga bisa ketemu jodoh. Karena di sana memang tempat bertemunya banyak pihak. Ada yang penjualnya adalah gadis, pembelinya anak muda. Ada juga penjualnya seorang anak muda, pembelinya adalah seorang gadis. Pokoknya banyaklah, mulai dari anak muda, gadis, janda maupun duda. Sekali pandang mata, jika Allah Swt menghendaki, bisa berujung di hadapan penghulu, imam desa atau kepada KUA alumni FDK atau FSH UIN Alauddin Makassar.
Sebaliknya, di pasar juga ada tingkah laku kehidupan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Mulai dari tipu-menipu, pelecehan seksual, pencopet, bahkan perjudian. Demikian halnya dengan berbagai tindakan-tindak yang tidak terpuji lainnya.
Penipuan misalnya.
Belilah beberapa kilogram buah-buahan, syukur jika sesuai timbangannya. Beli juga beberapa kilogram daging segar atau ikan segar. Mungkin timbangannya akan cukup atau lebih. Tapi kelebihannya adalah daging atau ikan yang setengah busuk atau bagian-bagian yang jelek yang sesungguhnya tidak layak konsumsi. Entah bagaimana cara sang penjual mencampurkannya dengan daging yang baik. Atau mengurangkan daging yang baik lalu menggantinya dengan daging jelek dalam sekejab mata tanpa diketahui oleh pembeli.
Di pasar juga ada kebohongan. Belilah parfum atau pakaian bermerk. Capnya adalah cap luar negeri tetapi barangnya barang bekas atau yang sudah kadaluarsa. Atau pejual mengatakan ini sangat baik, tetapi ketika dicoba dirumah langsung meleleh atau luntur. Demikian pula dengan rasa. Ketika dicoba terasa manis, setelah pulang ke rumah, rasanya menjadi semacam cemberut. Dari luar tertulis, 10 ribu per kilogram. Kita sangka yang seharga itu adalah barang yang baik, ternyata yang seharga itu adalah barang yang jelek. Dan seterusnya.
Pasar juga cermin lingkungan alam sekitar kita. Ada pasar yang bersih ada juga pasar yang tidak bersih. Jika hujan, pasar tradisional akan becek. Limbah air sisa mencuci ikan atau ayam potong dialirkan melalui selokan. Sayangnya di ujung selokan banyak sampah penjual sayuran yang tidak laku atau jusru usus ayam yang sengaja dibuang. Jadilah air dari selokan mengenangi jalanan. Jika memercik ke baju, pastilah itu tidak suci untuk shalat.
Di pasar juga masih terdapat aspek sosialnya. Para pedagang biasanya mengadakan arisan dan gotong royong. Mereka kompak untuk mengatasi masalah bersama. Jika ada yang kecurian, mereka sama-sama mencari pencuri dan memukulnya beramai-ramai. Urusan hukum adalah urusan belakangan. Satu kali waktu kelompok pedagang ini pergi rekreasi bersama ke tempat wisata. Bahkan ada yang rombongan pedagang yang naik umrah ke tanah suci.
Lazimnya di Indonesia, yang pergi ke pasar adalah kaum ibu atau anak perempuan. Itu merada dan sudah menjadi budaya negeri ini, yang dalam pandangan saya perlu diluruskan. Alasan para kaum Hawa yang berbelanja adalah karena mereka yang dianggap tahu apa yang akan dibeli atau mereka yang akan menggunakannya sesampai di rumah. Di kampung saya dulu, Sipirok, seingat saya juga demikian. Ibu-ibu berbelanja, bapak-bapak ngobrol di warung meneguk kopi sambil menikmati lantunan lagunya Pance Pondaag, Ramona Purba atau artis negara tetangga: Isabella, Suci dalam Debu atau kisah perkahwinannya P. Ramlee.
Tapi kali ini, di pasar Minasaupa ini, saya tertegun, melihat seorang bapak yang masih cukup muda dan gagah, ikut ke pasar bersama istrinya. Jika ke supermarket atau ke mall, biasalah bapak-bapak ikut. Tetapi ke pasar tradisional ini, agak jarang untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali.
Sang bapak ini ikut menenteng barang belanjaan. Berjalan bersama istrinya. Sesekali istrinya singgah menawar sesuatu, dia ikut singgah. Saya melihat wajahnya yang sumringah dan tanpa merasa malu sedikitpun ketika kutegur. Beliau adalah seorang dosen UIN Alauddin Makassar yang tidak lama lagi akan menyandang pangkat guru besar. Menjadi pejabat penting di program pascarjana.
Tak boleh saya sebut namanya di sini, apalagi mengupload fotonya, karena sebenarnya saya belum terlalu akrab dengan beliau. Walaupun saya sadar ini adalah satu kebaikan, tapi saya juga mesti menjaga hak-hak pribadinya. Sekiranya saya sudah cukup akrab dengannya, saya tak segan-segan menyebut dan mengupload fotonya.
Bagi saya inilah lelaki Indonesia yang berkemajuan. Selalunya kita menganganggap kemajuan itu dalam hal teknologi dan fasilitas. Perubahan pola pikir juga penting, meniru langkah masyarakat luar negeri. Saya pernah melihat seorang lelaki pilot di pasar Adelaide Australia membeli telur dan potongan ayam dalam kantong plastik putih, membawanya naik dalam bus. Tanpa sungkan tanpa malu. Hal-hal seperti ini jarang dipelajari, padahal itulah contoh kemajuan dan cara pandang yang baik.
Betul tak ada ada perbedaan lelaki dan perempuan dalam hal sebagaimana saya gambarkan di atas serta berbagai relasi kehidupan lainnya. Inilah satu penerapan nyata di antara persamaan gender yang sering diseminarkan atau didiskusikan. Bahkan mendapat dana dari luar negeri. Dalam konteks ini dan sejenisnya, saya setuju membicarakan gender. Tetapi untuk hal-hal yang sudah jelas aturan dan pemilahannya dalam ajaran agama, saya tak perlu ikut campur. Wallahu’alam.
Wassaalam
Haidir Fitra Siagian
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Alauddin Makassar
07 07 18
Pasar Minasapa singga makan coto Sunggu, sekitar pukul sembilan tadi pagi.
Catatan : dapat dikutip, dipublikasikan atau dibagikan tanpa harus ada izin dari saya, semoga bermanfaat.