Oleh: Andi Idham Jasin
DARI ratusan masyarakat Mandar di sini, hanya sebagian kecil saja yang pernah menginjakkan kakinya di Mandar itu pun mereka yang sudah berusia lanjut dan juga bisa dihitung jari sekitar lima hingga 10 orang saja.
Mereka lahir dan dibesarkan di sini, Bali. Namun, prinsip yang mereka pegang bahwa bahasa nenek moyang mereka yakni bahasa Mandar harus tetap dilestarikan dan diajarkan ke anak cucu, terus menerus karena itulah satu-satunya identitas bahwa mereka adalah orang Mandar.
Ya disaat anak-anak kita yang tinggal di Mandar justru lebih terbiasa berbahasa Indonesia dan sehingga malah kaku berbahasa Mandar. Anak-anak dan remaja di sini justru sangat fasih berbahasa Mandar.
Walaupun mereka belum pernah menyaksikan langsung apalagi menunggangi sayyang pattudduq (Kuda menari), belum pernah disanggul Mandar dan berbaju pokko Mandar, belum pernah makan penja, belum pernah makan bau peapi dengan pammaissang Mandar disertai aroma minyak Mandar dan bawang Mandar tapi mereka dengan bangga selalu menunjukkan identitasnya bahwa mereka adalah orang Mandar.
Dan yang pasti mereka sangat senang menyambut Kami di kampung ini. banyak tawaran untuk menginap di rumah mereka, jamuan makan bersama dan masih banyak hal lain yang membuat kami di sini merasa seperti baru bertemu dengan saudara yang terpisahkan jarak dan waktu yang lama.
Andaikata ada kesempatan ingin rasanya mengajak mereka menginjakan kakinya langsung di tanah leluhur mereka, tanah Mandar sehingga mereka bisa merasakan dan menyaksikan langsung segala bentuk kearifan lokal tanah Mandar yang selama ini hanya mereka dengar dari cerita turun-menurun dari nenek-neneknya dan juga dari berita serta tontonan di medsos dan yutube.*