Editor: Busriadi Bustamin
MAJENE, mandarnesia.com–Dalam kurun waktu tahun 2010 hingga tahun 2014, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendikbudristek) telah mengambil alih pengelolaan 35 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sebelumnya dikelola oleh yayasan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sehingga semua aset bergerak dan tidak bergerak (seperti mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, tanah dan gedung beserta isinya) telah diserahkan kepada pemerintah pusat melalui Berita Acara Serah Terima Aset (BAST) dari yayasan kepada pemerintah.
Penyerahan aset ini merupakan salah satu syarat yang diminta oleh pemerintah untuk menggambl alih pengelolaan PTS menjadi PTN. Ada 35 PTS yang dialihkan menjadi PTN yang selanjutnya disebut PTNB (Perguruan Tinggi Negeri Baru).
Berdasarkan nama-nama dosen dan tenaga kependidikan (tendik) yang tercantum dalam BAST, pemerintah mengalihkan status mereka menjadi ASN PPPK namun upaya tersebut justru menimbulkan masalah baru karena, di dalam kontrak kerja mereka, masa kerja semua dosen dan tendik dianggap 0 tahun, jabatan akademik diakui hanya sampai magister, pengembangan karir macet dan dosen tidak diperkenankan studi lanjut selama kontrak berlangsung. Masa kerja yang dianggap 0 tahun dalam kontrak tersebut berdampak pada penurunan gaji para dosen senior sekitar 1-2 juta per bulan. Bagi yang masih menempuh studi doktoral diwajibkan memilih antara melanjutkan studi atau terikat kontrak.
Umar (Sekjen ILP-PTNB Pusat) mengatakan bahwa pengambilalihan ini menyisakan beberapa persoalan. Masalah yang paling krusial adalah persoalan pengalihan status kepegawaian dosen dan tendik belum menghasilkan solusi yang berkeadilan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pegawai (Dosen dan Tendik) di 35 PTN Baru. Salah satunya adalah membentuk “Ikatan Lintas Pegawai Perguruan Tinggi Negeri Baru” (ILP-PTNB) sebagai wadah memperkuat perjuangan khususnya proses alih status kepegawaian.
Untuk mewujudkan perjuangan tersebut, ILP-PTNB telah melakukan roadshow ke lembaga-lembaga negara (seperti Kemenristekdikti/Kemendikbudristek, KemenPAN-RB, Kemenkeu, Kemenkum HAM, Setneg, DPR-RI, DPD RI dan bahkan ke MPR-RI). Pada saat ini, perjuangan ini sudah berumur 11 tahun namun status kepegawaian Dosen dan Tendik di 35 PTNB belum diselesaikan.
Berbagai masalah itu membuat para dosen dan tendik PTNB menuntut Kemendikbudristek dan KemenPAN-RB untuk merevisi kontrak kerja. Kontrak kerja ini juga bertentangan dengan banyak Surat Keputusan (SK) dari Kemendikbudristek sendiri, seperti SK sertifikasi dosen dan SK jabatan fungsional yang telah terlebih dulu terbit menjadi tidak memiliki kekuatan hukum. Masalahan kontrak PPPK ini harus segera diselesaikan sebab berlarut-larutnya permasalahan ini akan sangat berdampak pada kinerja institusi.
“Ikatan Lintas Pegawai PTNB bersama dengan Forum Rektor PTNB telah melakukan beberapa kali pertemuan untuk berkolaborasi menyelesaikan permasalahan ini. Jika masalah tersebut belum dituntaskan oleh pemerintah, kami akan melakukan boikot terhadap penerimaan CPNS di PTN BARU (PTNB),” tegas Umar.
Kontrak PPPK jika ditandatangani akan berdampak panjang bagi institusi perguruan tinggi. Jabatan akademik doktor yang tidak terakomodasi menyebabkan akreditasi institusi menurun. Karir dosen dan tendik yang macet menyebabkan perguruan tinggi tidak dapat memenuhi syarat-syarat administrasi akreditasi karena data tidak sesuai dengan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI).
Munculnya masalah kontrak PPPK disebabkan oleh tumpang tindih dan tidak sinkronnya peraturan yang melatarbelakangi kebijakan penegerian 35 PTS di seluruh Indonesia. Sebagaimana diketahui, sampai pada tahun 2014 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pemerintah mengalihstatuskan 35 PTS menjadi PTN. Dalam alih status PTS tersebut, Sumber Daya Manusia (SDM) di setiap perguruan tinggi tidak otomatis menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal sebelumnya, penegerian Untirta Banten dan Universitas Trunojoyo Madura berhasil mengalihkan status dosen dan tendiknya menjadi PNS. Baru-baru ini, pegawai KPK juga telah dialihkan status kepegawaian mereka menjadi PNS.
Karena tidak diselesaikan dengan baik, status kepegawaian SDM PTNB masih “digantung” selama belasan tahun. Di awal proses penegerian, dosen dan tendik PTNB dijanjikan status PNS namun kebijakan terakhir pemerintah justru memutuskan status kepegawaian untuk mereka adalah PPPK. Baru pada tahun 2016, pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres No. 10 tahun 2016 tentang Pengangkatan PPPK di PTNB). Dalam Perpres ini disebutkan bahwa pegawai PPPK yang diangkat akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan PNS. Berdasarkan Perpres ini, pengangkatan PPPK PTNB memiliki kekhususan dan masa kerja setiap dosen dan tendik diakui.
Namun Perpres tersebut tidak dapat langsung dilaksanakan karena belum terbit peraturan pemerintah yang mengaturnya. Baru pada tahun 2018 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dengan terbitnya PP ini, Perpres No. 10 tahun 2016 yang mengatur kekhususan pengangkatan PPPK tidak dapat dipakai lagi sebagai dasar hukum. Dalam Perpres batas waktu yang ditentukan untuk pengangkatan PPPK hanya satu tahun sejak diterbitkan. Perpres dianggap sudah kadaluarsa akibat lambat dan kelalaian pemerintah dalam mengurus dosen dan tendik PTNB.
Pada tahun 2019, akhirnya dilakukan rekruitmen PPPK bagi dosen dan tendik di seluruh PTNB melalui formasi khusus. Namun dikarenakan proses rekruitmen PPPK yang dimulai dari pengumuman, proses seleksi, pengumuman diterima sampai pemberkasan memakan waktu yang panjang yakni 2 tahun, maka Perpres No. 10 tahun 2016 menjadi tidak dapat diberlakukan lagi. Perpres No. 10 tahun 2016 hanya memberi batas waktu satu tahun. Akibatnya, muncul Permenpanrb No.72 tahun 2020 yang menghapus jaminan kerja, masa kerja dan pensiun eks Pegawai Yayasan pada PTNB.
Kontrak PPPK yang cacat hukum ini bagi pegawai PTNB tidak lagi memiliki kekhususan hak dan kewajibannya sama dengan PNS namun diperlakukan sebagai pegawai PPPK pada umumnya. Sampai sekarang, status kepegawaian SDM PTNB belum dituntaskan dan bahkan justru menghasilkan masalah baru.
Zainuddin Losi Humas ILP-PTNB Usulbar mengatakan, bahwa beberapa masalah yang muncul akibat kebijakan alih status yang cacat hukum ini meliputi penurunan jabatan akademik, masa kerja selama belasan dan bahkan puluhan tahun tidak diakui, karir dosen dan tendik macet, dan penurunan gaji pokok.
“Solusi jangka pendek yang kami tawarkan kepada pemerintah adalah merevisi Permenpanrb No. 72 tahun 2020 karena regulasi ini ‘mengebiri’ hak-hak dosen dan tendik sehingga pengembangan karir mereka menjadi stagnan,” tegasnya.
Adapun solusi bagi masih banyaknya dosen dan tendik PTNB yang belum ikut seleksi PPPK adalah pemerintah perlu membuka formasi PPPK khusus tahap ke-2 untuk mereka.
“Namun semua tawaran solusi PPPK tersebut hanya dapat diterima sebagai solusi jangka pendek atau solusi sementara dan selanjutnya kami tetap menuntut solusi PNS sebagai solusi jangka panjang atau solusi terbaik sebab sejak perguruan tinggi kami masih menjadi PTS dan sampai sekarang menjadi PTN, status rekan-rekan kami masih sebagai dosen tetap dan tendik tetap, bukan pegawai kontrak. Mengapa sekarang pemerintah melalui skema PPPK justru menjadikan kami sebagai pegawai kontrak? Mengapa penegerian PTS tahap pertama terhadap UNTIRTA Banten dan Universitas Trunojoyo Madura bisa mengalihkan semua SDM-nya menjadi PNS? Mengapa pemerintah dengan mudahnya mengalihkan status pegawai KPK menjadi PNS tanpa memperhatikan batasan umur sebagaimana yang disebutkan dalam UU ASN? Jika mereka bisa menjadi PNS melalui kebijakan pemerintah, mengapa kami tidak bisa?,” ucapnya.
Menurutnya, Pemerintah harus adil dan konsisten dalam berbagai kebijakannya.”Oleh karena itu, kami mendukung langkah ILP-PTNB Pusat untuk memboikot penerimaan CPNS di PTN Baru sebelum masalah ini dituntaskan dengan baik dan secepatnya,” kata Zainuddin melalui rilis resmi yang diterima, Sabtu (17/7/2021). (rls)