Pada saat itu, Andi Selle tampak sebagai panglima militer, pengayom rakyat sekaligus sebagai konglomerat. Kepada para tamu undangan khususnya pejabat tinggi menganggap Andi Selle sebagai sosok kebanggan Negara yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Hal itu terbukti, pasukannya difasilitasi mulai dari seragam, senjata sampai armada operasional dalam menjalankan tugas. Dalam lingkungam Kodam XIV/Hasanuddin, pasukan Andi Selle (tulis Anhar Gonggong, 1992: 172) adalah pasukan “yang terkuat”.
Acara tersebut tampak sebagai “pameran” kekuatan pasukan dan sekaligus kekayaan Batalyon 710 yang diperoleh dari hasil monopoli perdagangan kopra dan beras di pantai barat Sulawesi. Para pejabat yang datang itu belum mengetahui bahwa bisnis PT. Pembangunan yang berpusat di Majene itu membeli kopra dari penduduk dengan harga murah. Bahkan tak jarang TBO-nya memanjat dan mengolah buah kelapa sendiri menjadi kopra, selanjutnya dijual kepada Batalyon 710 dengan harga yang telah ditentukan.
Sejak itu, jaringan usaha Andi Selle semakin meningkat dan berkembang karena rakyat digiring dalam satu pilihan untuk tunduk dan patuh pada kebijakan Bn. 710. Jika tidak, rakyat harus siap kena hukuman yang kejam atau ditembak mati.
Antara tahun 1956-1959, keberadaan pasukan Bn. 710 Andi Selle semakin beringas dan menyengsarakan rakyat Mandar. Pada saat yang sama, di hutan Pumbijagi yang menjadi pusat gerakan DI/TII di Mandar juga dilanda kemelut. Sejak Konferensi Pumbijagi 1953 hingga masuknya Bn. 710 pada tahun 1956, MT. Rahmat dalam posisi sulit. Di internal DI/TII ia dianggap sebagai orang yang tak setia pada perjuangan DI/TII sehingga posisinya digantikan oleh Sunusi Tande.
Dopihak 710 juga MT. Rahmat dianggap sebagai gembong kerap melindungi rakyat dengan pasukan-pasukannya yang juga memiliki keuatan militer. Sejak tahun 1958, pergerakan MT. Rachmat mulai menjadi target operasi kedua pasukan (Bn. 710 Andi Selle dan DI/TII Sunusi Tande). MT. Rachmat mencium aroma kerjasama antara Kahar Muzakkar dengan Andi Selle Mattola. Sepanjang tahun 1958-1959, kelompok MT. Rahmat mulai diserang oleh pasukan Tande di Pumbijagi.
Saat itu, ribuan rakyat dalam pengayomannya bersama Saleh Bhakti, Idris Daeng Baso, Banru, dengan sejumlah ulama antara lain KH. Muhammad Qasim (Imam Tandung), KH. Umar Mappeabang, Annangguru Yaseng. Baharuddin Lopa dan MT. Rachmat sepakat membentuk gerakan Front Pembebasan Rakyat Tertindas (FPRT). Bahruddin Lopa keluar dari hutan menuju Parepare dan Makassar.
Ia menghubungi tokoh-tokoh Mandar di Parepare dan Makassar antara lain Kapten Amier, S. Mengga, Andi Mappatunru, Husni Djamaluddin, Islam Andada, Mulyadi Djamal, KH. Muhammad Alwy atau Imam Janggo, Andi Depu dan lainnya untuk membangun sebuah gerakan penyelamatan rakyat Mandar yang tertindas oleh gerombolan Kahar Muzakkar pimpinan Sunusi Tande dan Bn. 710 pimpinan Andi Selle Mattola.
Melalui kurir yang bernama Kati (Abdul Latif Sulaiman), MT. Rachmat, S. Mengga dan lainnya memberikan masukan kepada Panglima Jusuf agar mengangkat Baharuddin Lopa sebagai Bupati di Majene. Usulan itu kemudian dipenuhi sehingga 2 Februari 1959, Baharuddin Lopa resmi dilantik sebagai Kepala Daerah Tingkat II Majene.
Pengangkatan Baharuddin Lopa sebagai Bupati ini dianggap oleh Andi Selle sebagai upaya pemerintah untuk menghentikan seluruh kebijakan bisnisnya di Mandar. Jika Baharuddin Lopa dibiarkan terus berkuasa di Majene, itu berarti kiamat bagi jaringan bisnis Andi Selle. Andi Selle terus melakukan upaya untuk membuat kekacauan di Mandar. Kerjasamanya dengan Kahar Muzakkar di hutan Sulsel membuatnya menggandeng barisan Sunusi Tande untuk menggempur MT. Rahmat bersama rakyat sipil yang berada di pelosok Mandar mulai dari Pumbijagi, Tubbi, Buttu Damar, Pussanggera dan lainnya.
Masyarakat yang dicurigai membangun kerjasama dengan MT. Rachmat langsung ditembak mati. Terdapat garis territorial yang membatasi gerakan MT. Rachmat dan pasukannya di hutan-hutan.